KOPI PANGKU PANTURA : CERMIN SUNYI PEREMPUAN PESISIR

Kopi Pangku di Pantura: Cermin Sunyi dari Perempuan PesisirOleh: Harno DiyansyahDi sepanjang jalur Pantura terdapat warung-warung sederhana yang lampunya temaram, kursinya reyot, dan aroma kopinya pekat bercampur debu jalanan. Orang menyebutnya warung kopi pangku. Tempat itu, bagi sebagian orang, adalah ruang singgah; bagi sebagian lainnya, adalah sumber penghidupan.Fenomena kopi pangku sering menimbulkan perdebatan. Sebagian mengutuknya sebagai simbol kemerosotan moral, sementara sebagian lain memandangnya sebagai bentuk nyata dari kegigihan perempuan pesisir bertahan hidup di tengah sempitnya ruang ekonomi. Di sinilah kompleksitasnya: antara moralitas dan realitas hidup yang keras.Perempuan-perempuan di warung kopi pangku bukanlah tokoh fiksi. Mereka nyata, hidup di sekitar kita. Banyak di antara mereka adalah janda muda, korban kekerasan rumah tangga, atau sekadar perempuan yang ditinggal suami tanpa nafkah. Mereka memilih bekerja di warung kopi bukan karena ingin menantang norma, melainkan karena tidak ada pilihan lain. Di daerah di mana pabrik jarang berdiri dan tambak tak lagi menjanjikan, segelas kopi bisa menjadi simbol perjuangan.Sementara para pengunjung—terutama sopir truk dan pekerja jalanan—datang bukan semata mencari sensasi. Di tengah lelah dan sepi perjalanan, mereka mencari percakapan, tawa ringan, atau sekadar kehangatan manusiawi. Dalam ruang yang dianggap “gelap” itulah, terkadang terselip sisi-sisi kemanusiaan yang jarang kita pahami.Namun, kita tak bisa menutup mata. Fenomena ini lahir dari ketimpangan sosial yang sistemik. Ketika pendidikan rendah, lapangan kerja terbatas, dan ekonomi pesisir terpinggirkan, maka “warung kopi pangku” menjadi bentuk perlawanan kecil terhadap nasib. Ia bukan sekadar tempat menjual kopi, melainkan panggung kecil dari drama sosial bernama kemiskinan struktural.Ironisnya, masyarakat sering lebih sibuk menghakimi moral para pelakunya daripada memperbaiki akar masalahnya. Kita cepat memberi label, tapi lambat memberi solusi. Padahal, bila kita benar-benar peduli pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral, maka empati seharusnya menjadi langkah pertama dan bukan penghakiman terhadap fenomena sosial.Film Pangku karya Reza Rahadian yang segera tayang mungkin bisa menjadi jendela refleksi. Ia membuka percakapan yang lama tertutup: bagaimana seharusnya kita melihat perempuan pesisir yang terjebak di antara kebutuhan dan stigma? Mungkin jawabannya sederhana—dengan hati.Kita tak harus mengagungkan atau menormalisasi fenomena kopi pangku. Tapi kita juga tak boleh menutup mata terhadap alasan mengapa ia ada. Karena di balik setiap cangkir kopi yang disajikan di pinggir jalan Pantura, ada kisah manusia yang sedang berjuang—diam-diam, dalam senyap, di antara lampu jalan yang temaram.

Ayo bergabung menjadi mahasiswa STIDKI NU Indramayu!

Populer