Ketahanan Pangan Kemerdekaan Lahir dan Batin

Supendi Samian, S.E., M.M

Ketahanan pangan bukan sekadar urusan perut atau dapur, tetapi tentang kedaulatan bangsa dan kemerdekaan jiwa. Negara yang mampu memberi makan rakyatnya berarti memiliki kendali atas nasibnya sendiri. Sebaliknya, bangsa yang bergantung pada pangan dari luar seperti pohon besar tanpa akar yang kuat mudah tumbang diterpa badai krisis. Maka, ketahanan pangan sejatinya adalah simbol kemerdekaan yang utuh, lahir dan batin.Jika kemerdekaan lahir berarti bebas dari penjajahan fisik, maka kemerdekaan batin adalah terbebas dari rasa takut akan kelaparan dan ketidakpastian hidup. Pangan menjadi wujud nyata dari rasa aman itu. Dalam perspektif psikologi manusia, sebagaimana dijelaskan Abraham Maslow (1943) dalam hierarki kebutuhannya, kebutuhan fisiologis seperti makan dan minum adalah dasar bagi tumbuhnya martabat dan kebahagiaan. Tanpa itu, kebebasan hanyalah ilusi.Bayangkan sebuah keluarga petani yang menanam padi di sawahnya sendiri. Mereka bekerja di bawah matahari, menanam, memanen, lalu menikmati hasil jerih payahnya. Di situlah kemerdekaan yang hakiki bersemayam mereka tidak menggantungkan hidup pada pasar global, tetapi pada tanah yang mereka cintai. Pangan bukan sekadar hasil, tetapi juga doa yang tumbuh dari keringat dan kesabaran.Ketahanan pangan ibarat akar dalam pohon kehidupan bangsa. Ia mungkin tidak tampak di permukaan, tetapi menahan seluruh beban peradaban di atasnya. Bila akar itu rapuh, daun dan buahnya akan layu. Demikian pula negara tanpa ketahanan pangan akan kehilangan kedaulatan politik, ekonomi, bahkan moral. Ketahanan pangan adalah akar kemerdekaan yang menopang masa depan.Dalam konteks Indonesia, cita-cita ketahanan pangan sudah tertulis dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Artinya, pangan adalah hak rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Pemerintah, petani, dan masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan itu agar kemerdekaan pangan tidak hanya menjadi slogan.Ketahanan pangan juga memiliki dimensi spiritual. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian berada di waktu pagi dalam keadaan aman di rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dikaruniakan kepadanya.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan bahwa kecukupan pangan adalah bagian dari nikmat terbesar kehidupan yang patut disyukuri.Kemerdekaan batin dalam konteks pangan muncul ketika manusia mampu merasa cukup. Seseorang yang tidak rakus, tidak serakah, dan mampu berbagi hasil bumi berarti telah merdeka secara spiritual. Pangan bukan hanya soal beras dan lauk, tetapi juga cermin akhlak dan rasa tanggung jawab sosial terhadap sesama.Analogi yang tepat untuk menggambarkan ketahanan pangan adalah jantung dalam tubuh manusia. Ia memompa kehidupan ke seluruh bagian. Ketika jantung berhenti, seluruh sistem lumpuh. Begitu pula pangan: ketika rantai produksi dan distribusi terganggu, denyut ekonomi dan sosial berhenti. Maka, menjaga pangan sama pentingnya dengan menjaga kehidupan.Ketahanan pangan yang kokoh tidak mungkin lahir dari tanah yang dikuasai oleh segelintir orang. Ia tumbuh dari kemandirian petani kecil, koperasi tani, dan sistem pertanian berkelanjutan. Seperti dikemukakan Amartya Sen (1999), pemenang Nobel Ekonomi, kelaparan bukan semata akibat kekurangan pangan, tetapi karena ketidakadilan dalam akses dan distribusi.Kemerdekaan lahir menuntut kita memiliki kekuatan produksi. Namun, kemerdekaan batin mengajarkan kita untuk menggunakan hasil bumi dengan bijak. Konsumsi berlebihan adalah bentuk penjajahan gaya baru bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh nafsu sendiri. Maka, ketahanan pangan tidak hanya soal menanam lebih banyak, tapi juga mengonsumsi secukupnya.Dalam perjalanan bangsa, krisis pangan selalu menjadi ujian. Tahun 1998 misalnya, krisis moneter menekan daya beli rakyat dan mengguncang sektor pangan nasional. Namun dari krisis itu kita belajar: ketahanan pangan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Ia membutuhkan regulasi yang berpihak kepada rakyat kecil dan pelestarian sumber daya lokal.Pangan lokal adalah wajah kearifan nusantara. Ubi, sagu, jagung, dan singkong bukanlah makanan kelas dua, melainkan simbol kemerdekaan dari ketergantungan pada beras impor. Di balik setiap butir sagu atau potongan singkong, tersimpan filosofi berdikari sebagaimana diajarkan Bung Karno: “Berdikari dalam ekonomi, berdikari dalam politik, dan berdikari dalam budaya.”Kemerdekaan batin juga berarti merdeka dari rasa rendah diri terhadap produk sendiri. Bangsa yang mencintai hasil bumi dan kulinernya sendiri adalah bangsa yang memiliki identitas kuat. Ketahanan pangan, dalam hal ini, juga merupakan ketahanan budaya sebuah upaya menjaga cita rasa nusantara agar tidak punah digerus globalisasi.Dalam tataran moral, ketahanan pangan adalah ibadah sosial. Setiap benih yang ditanam dan setiap butir padi yang tidak terbuang merupakan amal. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman lalu hasilnya dimakan oleh manusia, burung, atau hewan, kecuali menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, bertani bukan hanya profesi, tetapi juga pengabdian.Ketahanan pangan juga harus berpihak pada lingkungan. Tanah yang subur, air yang bersih, dan udara yang segar adalah penopang utama kehidupan. Bila alam rusak, kemerdekaan pangan akan rapuh. Oleh karena itu, pendekatan ekoteologi yang memandang manusia sebagai khalifah penjaga bumi menjadi landasan penting dalam membangun ketahanan pangan berkelanjutan.Dalam tataran kebijakan, pemerintah perlu melihat pangan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan hak sosial. Program seperti “Lumbung Pangan Desa” atau “Pertanian Organik Berbasis Komunitas” dapat menjadi solusi empirik. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Nahdlatul Ulama yang menekankan keseimbangan antara ilmu, amal, dan adab dalam mengelola sumber daya.Ketahanan pangan batiniah juga tumbuh dari rasa syukur. Ketika seseorang bersyukur atas setiap rezeki yang datang dari bumi, maka hatinya menjadi lapang. Ia tidak merasa kekurangan, sekalipun hidup sederhana. Syukur menumbuhkan ketenangan, dan ketenangan adalah inti dari kemerdekaan batin. Dalam setiap butir nasi yang kita makan, ada pelajaran tentang kesabaran dan ketulusan.Bangsa yang merdeka secara lahir dan batin akan menanam, memanen, dan mengolah dengan cinta. Mereka tidak hanya mencari untung, tetapi juga ingin memberi kehidupan. Ketahanan pangan adalah buah dari gotong royong: petani, nelayan, pemerintah, dan konsumen bersatu dalam satu visi, yaitu menegakkan kedaulatan pangan nasional.Ketahanan pangan sejatinya adalah refleksi dari hubungan manusia dengan Tuhan dan alam. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak bisa dicapai hanya dengan pidato, melainkan dengan kerja nyata dan doa yang tulus. Dalam setiap tetes keringat petani, terdapat doa agar negeri ini tidak pernah kekurangan makanan, tidak pernah kehilangan harapan.Maka, kemerdekaan lahir dan batin tidak akan sempurna tanpa ketahanan pangan. Ia adalah denyut nadi bangsa, penopang kesejahteraan, dan simbol ketulusan manusia terhadap ciptaan Tuhan. Saat kita menjaga pangan, sesungguhnya kita sedang menjaga kemerdekaan itu sendiri kemerdekaan untuk hidup dengan bermartabat, beriman, dan bersyukur atas setiap karunia yang tumbuh di bumi pertiwi.Referensi:Maslow, A. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review.Sen, Amartya. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3).Hadis Riwayat Tirmidzi, Bukhari, dan Muslim.Sukarno. (1965). Dibawah Bendera Revolusi.

Ayo bergabung menjadi mahasiswa STIDKI NU Indramayu!

Populer